Sabtu, 30 Mei 2015

Teka-teki itu adalah (kamu) Langit Malam



Teka-teki itu bernama Langit Malam. Padanya, cahaya sang rembulan bak mata yang menatap tajam. Cahayanya meneduhkan, tak menyilaukan. Kokoh bertengger dalam temaram, itulah yang membuatnya cerah bercahaya. Kalaulah bisa, aku hendak berkata padanya, "Wahai rembulan, kilaumu adalah pantulan sang mentari. Bilalah tak ada lagi sang mentari, akankah cahayamu mampu meneduhkan hatiku?"

Lagi, teka-teki itu bernama Langit Malam. Gelap, pekat, penuh misteri. Beribu-ribu bola gas bersuhu tinggi berkerlipan terhampar luas di langit padam. Kilau-redupnya seolah menyimpan banyak misteri. Misteri yang terpendam dalam gulitanya malam. Saat ia menyendiri reduplah cahayanya, tak nampak, dan tak dikenali. Saat berkumpul menjadi gugusan galaksi atau nebula ia begitu indah dengan cahaya berkerlip. "Wahai gugusan bola gas, tetaplah kau menjadi gugusan galaksi atau nebula, agar ku dapat melihatmu dari kejauhan dengan kerlipan cahayamu yang membuatku tersenyum. Agar aku dapat memanggil namamu, Bintang."

Masih, teka-teki itu bernama Langit Malam. teka-teki yang menyimpan banyak rahasia. Bukan tanpa alasan ia tanpa cahaya, gelap. Langit malam menyimpan banyak misteri. Misteri kegelapan berbalut keindahan sang rembulan dan kemerlip bebintangan.

_______

Misteri yang mengajarkan manusia bahwa tak berharga diri seorang manusia, sampai ia memiliki keindahan dimata Rabbnya. Langit yang gelap adalah simbol agar manusia hendaknya selalu berendah hati, bahwa kita tak memiliki apa-apa yang dapat dibanggakan. Lalu, ditengah gelapnya malam, cahaya sang rembulan dan kemerlip bintang lah yang akan selalu membuatnya indah. Begitu pula manusia, ia dinilai dari cahaya hatinya, dan kebermanfaatannya :)

Minggu, 24 Mei 2015

Agar Ku Terbiasa

Aku terlahir di keluarga yang disiplin. Kakek, nenek, pakde, bude, om, tante, termasuk ibu dan bapakku pun termasuk tipe orang yang disiplin dan perfeksionis. Sedari kecil, aku dididik dengan cara berbeda dengan anak-anak seusia saya lainnya. Orang tuaku sangat jarang sekali memanjakan aku. Prinsipnya: "If you wanna get yours, you have to do your best." Jika aku menginginkan sesuatu hal kesukaanku, aku harus usaha mendapatkannya, atau menukarnya dengan pencapaian tertentu. Contohnya saja dengan prestasi. Masih teringat jelas hingga saat ini, aku selalu menginginkan sepatu Converse yang aku idamkan. Tapi, lagi-lagi aku bisa mendapatkannya ketika aku ranking di kelas.

Aku diajarkan untuk selalu disiplin dalam keseharian, dan mengerikannya aku harus melakukan segalanya dengan sempurna, perfect! Tentu tidak mudah bagiku untuk selalu melakukan aktifitas 'sesuai standar perfect orangtuaku'. Dan uniknya, aku benar-benar tak pernah bisa mendapatkan apa yang aku mau di keluarga ini. Bahkan, aku tak pernah memiliki boneka barbie ketika aku masih kecil. Meski aku menangis meronta-ronta dan guling-guling di jalanan untuk meminta boneka barbie, orangtuaku tak pernah membelikanku. Percaya tidak? Tapi itu benar-benar terjadi. Orang tuaku selalu memberikan barang lain. Aku kesal ketika itu. Aku minta barbie, tapi diberi boneka Panda. Aku benar-benar tak mendapatkan yang aku mau. Begitu pula dengan kedua saudaraku, kakak dan adik.

Aku tak tahu harus menyebut diriku ini seperti apa. Tapi orang lain menyebutku: "dewasa sebelum waktunya." Ya, banyak orangtua teman sebayaku menyebutku sangat dewasa. Karena ketika teman seusiaku masih saya menangis ketika keinginannya tak terpenuhi, aku disini dengan gaya 'cool' dan tak menangis. Seperti sudah terbiasa. Aku harus menabung untuk mendapatkan yang aku mau. Yang tentu masih aku ingat, ketika SMP, aku sangat ingin bergaya seperti teman-temanku memiliki hape berkamera VGA ketika itu. Aku sampai rela tak jajan untuk mengumpulkannya. Agaknya, tembok kamarku menjadi saksi bisu. Tembok kamarku terdapat catatan mimpi untuk membeli hape nokia tipe tertentu. Dan bahkan, disaat anak seusiaku masih diantar ke sekolah oleh orangtuanya, aku dengan gaya sok pemberani, setiap hari berjalan sendiri menuju sekolahku di taman kanak-kanak. Begitulah, aku sudah sangat terbiasa mandiri sejak taman kanak-kanak.

Semua memori yang lalu, sering kali membuatku tersenyum manis ketika mengingatnya. Membuatku berucap pada diri sendiri: "Kok bisa ya aku se-dewasa itu sejak taman kanak-kanak." Manis, teramat manis masa kecilku.

Dan seiring berjalan waktu, aku kian menyadari bahwa orangtuaku begitu sayang. Mereka mengajariku, bahwa untuk mendapatkan sesuatu, kita harus berjuang sendiri. Kita tak boleh berpangku tangan. Hidup itu perjuangan. Dan mereka mengajariku makna Cinta dan Sayang. Bahwa cinta tak harus terucap. Bahwa sayang tak harus selalu memberi. Cinta sejati adalah yang dilakukan dengan tindakan, bukan ucapan. Dan sayang tidak berarti memberi segalanya, tapi terkadang sayang berupa larangan agar kita tetap terjaga.

Dan semua ini agar ku terbiasa. Mereka hanya ingin memastikan, bahwa kelak ketika mereka meninggalkanku, aku sudah terbiasa. Aku sudah dewasa.

Jakarta, 25 Mei 2015
Di ruang komputer, ditengah malam.

Rabu, 20 Mei 2015

Setelah Sekian Lama

Bismillah...

Aku kira blog ini sudah tak bisa diakses karena lupa password. tapi ga sengaja nge-stalking blogger orang lain, dan tetiba bisa mengakses blog saya ini. alhamdulillah...
saya lihat, terakhir saya buat postingan di tahun 2013. waw, sudah 2 tahun berlalu sangat cepat. dan 2 tahun itu pula saya berpaling ke niketriendah.tumblr.com hehe :)
Saya rasa, curhat atau membuat tulisan tentang diri sendiri sudah terlalu ramai di tumblr. followersnya terlalu banyak dan membuatku tak nyaman akan privasiku ;) mungkin selanjutnya, aku akan menulis di blog ini lagi :)

2 tahun berlalu, 2 tahun pula banyak cerita yang tidak ku torehkan di blog ini. semoga mulai saat ini, aku bisa berbagi kisah melalui blog ini. agar hikmahnya bisa sama-sama kita petik :)

dan nampaknya aku harus menggant judul blog ini :)

Sabtu, 16 Maret 2013

Dakwah adalah cinta (alm. Ust Rahmat Abdullah)

Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai.
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah.
Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak.
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang.
Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik?
Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.
Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.
Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.
Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi.
Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik.
Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..
Karena itu kamu tahu. Pejuang yang heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yang takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar.
Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “
Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta… Mengajak kita untuk terus berlari…
“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

Jumat, 08 Maret 2013

Lillah, tak pernah lelah

Ada yang mengeluh, merasa jenuh, ingin gugur dan jatuh ia berkata “lelah!”. Ada juga yang lelah, tubuhnya penat tapi semangatnya kuat. Ia berkata “Lillah!”, karena Allah, Ikhlaskanlah. Tetap semangat pejuang-pejuang Allah!

untukmu pejuang dakwah

suatu hari nanti saat semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berada diantara mereka yang bercerita tentang perjuangan yang indah, dimana kita adalah sang pejuang itu sendiri. tak pernah kehabisan energi untuk selalu bergerak, meski terkadang godaan untuk berhenti atau bahkan berpaling arah begitu menggiurkan. seperti kata ustadz Rahmat Abdullah,
“Ketika orang tertidur kau terbangun, itulah susahnya. Ketika orang merampas kau membagi, itulah peliknya. Ketika orang menikmati kau menciptakan, itulah rumitnya. Ketika orang mengadu kau bertanggung jawab, itulah repotnya. Oleh karena itu, tidak banyak orang bersamamu disini, mendirikan imperium kebenaran”.

sabar dan ikhlas

Bukanlah kesabaran jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit