Minggu, 24 Mei 2015

Agar Ku Terbiasa

Aku terlahir di keluarga yang disiplin. Kakek, nenek, pakde, bude, om, tante, termasuk ibu dan bapakku pun termasuk tipe orang yang disiplin dan perfeksionis. Sedari kecil, aku dididik dengan cara berbeda dengan anak-anak seusia saya lainnya. Orang tuaku sangat jarang sekali memanjakan aku. Prinsipnya: "If you wanna get yours, you have to do your best." Jika aku menginginkan sesuatu hal kesukaanku, aku harus usaha mendapatkannya, atau menukarnya dengan pencapaian tertentu. Contohnya saja dengan prestasi. Masih teringat jelas hingga saat ini, aku selalu menginginkan sepatu Converse yang aku idamkan. Tapi, lagi-lagi aku bisa mendapatkannya ketika aku ranking di kelas.

Aku diajarkan untuk selalu disiplin dalam keseharian, dan mengerikannya aku harus melakukan segalanya dengan sempurna, perfect! Tentu tidak mudah bagiku untuk selalu melakukan aktifitas 'sesuai standar perfect orangtuaku'. Dan uniknya, aku benar-benar tak pernah bisa mendapatkan apa yang aku mau di keluarga ini. Bahkan, aku tak pernah memiliki boneka barbie ketika aku masih kecil. Meski aku menangis meronta-ronta dan guling-guling di jalanan untuk meminta boneka barbie, orangtuaku tak pernah membelikanku. Percaya tidak? Tapi itu benar-benar terjadi. Orang tuaku selalu memberikan barang lain. Aku kesal ketika itu. Aku minta barbie, tapi diberi boneka Panda. Aku benar-benar tak mendapatkan yang aku mau. Begitu pula dengan kedua saudaraku, kakak dan adik.

Aku tak tahu harus menyebut diriku ini seperti apa. Tapi orang lain menyebutku: "dewasa sebelum waktunya." Ya, banyak orangtua teman sebayaku menyebutku sangat dewasa. Karena ketika teman seusiaku masih saya menangis ketika keinginannya tak terpenuhi, aku disini dengan gaya 'cool' dan tak menangis. Seperti sudah terbiasa. Aku harus menabung untuk mendapatkan yang aku mau. Yang tentu masih aku ingat, ketika SMP, aku sangat ingin bergaya seperti teman-temanku memiliki hape berkamera VGA ketika itu. Aku sampai rela tak jajan untuk mengumpulkannya. Agaknya, tembok kamarku menjadi saksi bisu. Tembok kamarku terdapat catatan mimpi untuk membeli hape nokia tipe tertentu. Dan bahkan, disaat anak seusiaku masih diantar ke sekolah oleh orangtuanya, aku dengan gaya sok pemberani, setiap hari berjalan sendiri menuju sekolahku di taman kanak-kanak. Begitulah, aku sudah sangat terbiasa mandiri sejak taman kanak-kanak.

Semua memori yang lalu, sering kali membuatku tersenyum manis ketika mengingatnya. Membuatku berucap pada diri sendiri: "Kok bisa ya aku se-dewasa itu sejak taman kanak-kanak." Manis, teramat manis masa kecilku.

Dan seiring berjalan waktu, aku kian menyadari bahwa orangtuaku begitu sayang. Mereka mengajariku, bahwa untuk mendapatkan sesuatu, kita harus berjuang sendiri. Kita tak boleh berpangku tangan. Hidup itu perjuangan. Dan mereka mengajariku makna Cinta dan Sayang. Bahwa cinta tak harus terucap. Bahwa sayang tak harus selalu memberi. Cinta sejati adalah yang dilakukan dengan tindakan, bukan ucapan. Dan sayang tidak berarti memberi segalanya, tapi terkadang sayang berupa larangan agar kita tetap terjaga.

Dan semua ini agar ku terbiasa. Mereka hanya ingin memastikan, bahwa kelak ketika mereka meninggalkanku, aku sudah terbiasa. Aku sudah dewasa.

Jakarta, 25 Mei 2015
Di ruang komputer, ditengah malam.

0 komentar:

Posting Komentar